Ria. Temanku yang polos. Berasal dari
desa sebelah timur. Kalau ngomong sering disertai hujan grimis dari bibir
seksinya. Lucu dan kocak. Tingkahnya masih seperti anak kecil. Kalau bertanya
tanpa berfikir panjang dulu. Langsung asal ceplos seperti orang tak punya dosa.
“Nis, btw kamu kok sering sama
ayahmu ketimbang sama ibukmu?” seperti tak punya sungkan, Ria, teman baruku
sekampus melemparkan secuil pertanyaan namun berpengaruh besar terhadap
perasaan hatiku.
Aku hanya tersenyum kecil tanpa
kata.
“trus waktu kamu lihat karnaval
kemarin, kok sama ayahmu? Batinku, kenapa gak sama ibumu? Kok lebih dekat sama
ayahmu ya? Aku bingung” dilanjutkannya kembali dengan segundang pertanyaan yang
hampir saja membuat mataku berlinangan air mata.
Aku teramat sangat menahan rasa
sakit itu. Kembali lagi, aku diingatkan oleh peristiwa yang menyayat. Tapi aku
tetap berusaha tersenyum. Seakan tidak ada apa-apa dan sedang tidak risau
karena apa-apa. Kuhadapi pertanyaan kejam itu. Agar dia tak lagi bertanya akan
hal itu.
“aku sudah gak punya ibu. Ibuku sudah
nggak ada” jawabku dengan nada rendah.
“ah masak? Aku gak percaya. Kamu pasti
bercanda”
“lha ngapain aku bercanda, toh
juga gak ada gunanya aku bohong. Kalau tidak percaya, tanyakan saja pada Nia,
sahabatku”
Bergegas, Ria berlari kecil
mengahmpiri Nia dan menyakan akan ketidakpercayaannya itu.
“nia, emang benar ta Nisa udah
gak punya ibu?” tanya Ria kepo.
“heh! Ngawur kamu. Jangan gitu,
nanti dia ingat ibunya lagi. Kamu itu!” jawab nia sambil menengok kearahku
dengan nada agak tinggi dan sedikit memarahi ria lewat mimik wajahnya.
“halah, kamu juga bohong yaa.. Aku
gak percaya. Pasti kalian berdua sekongkol bohongin aku” bantah ria dengan
cengengesan.
“astagfirullahaladzim.. ya allah.. kuatkan aku. Bantu aku menahan air
mata ini ya allah.. astagfirullah.. sabar nisa sabar.. kuat...”keluhku dalam
hati.
“ria tidak salah. Memang dia kan belum tahu kalo ibumu sudah meninggal,
lagipula apasalahnya dia sedikit tau tentang keadaan keluargamu yang
sebenarnya. Kuat nisa, sabar... hadapilah pertanyaannya dengan hati lapang nan
senyum hangat”
“riaaa. Bodoh sekali kamu. Bodoh bodoh bodoh. Apa wajahku benar-benar
seperti pembohong sehingga kau tak percaya apa yang aku katakan. Padahal sudah
kuperjelas, bahwa ibuku sudah tiada. Tapi kenapa kamu masih saja seperti orang
bodoh yang terus saja tak percaya akan semua uraianku? Kenapa ria kenapaaa.....”
“lagipula apa juga manfaatnya aku berkata bohong jika ibuku sudah
tiada. Kamu gila ya ria? Kamu gila? Haaaa. Seharusnya kamu itu mikir. Mana ada
anak yang berpura-pura menganggap ibunya sudah tiada padahal beliau masih
hidup? Haa kamu pikir dong! Hanya orang tak berakal dan pasrah untuk jadi anak durhaka
yang tak mau mengakui keberadaan orang tuanya. Astagfirullah.. jauhkanlah aku dari
insan yang seperti itu ya allah...”
Usai hati berkonflik, aku kembali
tegap lagi dengan senyuman. Aku tak ingin orang disekitarku tau bahwa aku
hancur saat pertanyaan tadi keluar dari bibir ria yang padahal itu sangat
memukulku. Biarlah aku dan Allah yang tau akan hati kecilku berkata. Maafkan aku
teman aku telah bermuka dua dihadapan kalian. Aku hanya tak ingin kalian iba
denganku. Aku tak ingin melihat kalian sedih akan kenyataan hidup yang sempat
pahit itu. Biarlah aku sendiri yang mengenyamnya dalam hati dan menyimpan
rapat dalam sanubari.
Namanya juga remaja. Ada duka
dibalik cinta. Lebih tepatnya remaja yang mengenal cinta, hidupnya tak akan
jauh dari istilah yang bernama GALAU.
Nia, sahabatku, teman sekampusku,
teman sebangku. Ceritanya dia sedang galau, keingat sama lelaki yang dulu waktu
SMA pernah mewarnai hidupnya.
Suatu ketika saat dia sedang
dilanda galau, dicurhat dengan si A. Si A bilang “udahlah stop aja. Gakusah lagi
kamu ingat-ingat dia. Dia itu kan udah punya pacar. Lagipula, dia itu udah
serius dengan pacarnya. Aku tau semua. Udah, yang penting kamu stop” begitulah
nasehat dari si A untuk Nia.
Nia sempat syok dengan kalimat
itu. Sempat nangis juga. Lalu si A bilang gini “ udahlah, kamu itu lelaki kayak
gitu stop aja. Nisa aja yang kehilangan ibunya bisa tegar, masak kamu tidak
bisa”
Deg! Hatiku bergetar.
Baru saja kemarin nia bercerita
tentang ini. Dan sepotong kalimat terkahir ucapan dari si A sanggup membuatku
menganga.
Dan pada intinya, teman baruku,
teman sekampus menilai bahwa aku adalah wanita yang tegar. Memang aku selalu
berusaha menampakkan kepalsuanku agar aku bisa menutupi semua luka sempat
terselip dalah lika-liku kehidupanku. Aku juga sempat bangga, karena aku telah
berhasil memanipulasi mereka.
Mereka tak tau bahwa sebenarnya
tiap malam aku selalu teringat ibuku. Aku menangis. Hanya bantal dan guling
yang selalu ada untukku. Tak ada sandaran yang nyaman memang. Namun aku selalu
menemukan kekuatan dibalik doa yang selalu kupersembahkan untuk ibuku tercinta
dari situlah aku bisa kokh kelmbali. Tegar. Kuat. Sehingga mereka selalu
mengira bahwa hidup sangat jauh dari luka. Padahal......
Rasanya seperti masih MIMPI. Tapi
ini nyata.
SEMU tapi ini NYATA.
Ibu terlihat semu karena sekarang
tak serumah lagi dengan aku, ayah, dan adik. Rumah ibu semu. Bisa diungakpakan
dengan kata-kata tapi tak bisa untuk disentuh.
Sejauh apapun aku melangkah..
Kau kan slalu dihatiku..
Semua apapun yang terbaik..
Kupersembahkan hanya untukmu..
Ibu..
Terkadang, ibu tercium wangi
didekatku. Sangat wangi bahkan. Mungkin ibu rindu denganku dan juga ayah, sama
adik. Karena itulah itu membesuk kami dirumah. Tapi kenapa hanya bau wangimu
saja yang tercium, Bu? Mana penampakanmu yang asli? Mana, Bu..
Kenapa ibu sekarang menjadi
bayangan semu?
Bu, ini nyata ya?
Bu, ini seperti masih mimpi.
Bu, aku rindu ibu.
Dan rindu ini nyata bu, bukan
semu.
_Aku mencinta ibu_
Tidak ada komentar:
Posting Komentar