Semua yang ada di dunia ini memang nyata adanya. Bisa
dipandang dengan mata telanjang sekalipun. Diraba dengan penuh rasa juga bisa.
Tapi hanya satu yang tidak bisa, yaitu dirasakan. Memang mudah merasakan apa
yang seharusnya dirasakan. Tapi sangat sulit untuk menggenggamnya. Seperti ada
duri tajam yang sekali saja kita pegang, akan menjadi luka yang begitu mendalam
dan membekas.
Aku punya teman. Juga punya yang lebih dari teman. Tapi
semua itu seperti angin yang tak bisa kupeluk walau hanya sekali seumur hidup.
Mereka memang terlihat nyata adanya. Namun mereka itu semu. Tak ada yang
benar-benar nyata teman dan lebih dari teman. Mungkin bukan tak ada, tapi belum
ada. Mungkin..
Entahlah. Aku bisa merasakan kehadiran mereka didekatku.
Namun aku tak bisa merasakan stimulus yang tulus dalam diri mereka. Semua masih
seperti angin. Yang lalu lalang kesana kemari. Terkadang mendekat terkadang
menjauh.
Tapi aku lebih merasakan kejauhan di antara mereka. Karena
mereka semu, menurutku. Tak tau apakah kalian yang membaca tulisan ini
merasakan hal sama seperti yang aku rasakan saat ini atau tidak.
Aku di sini dan mereka di sana. Terkadang dari kejauhan
itulah aku merasa dekat. Dan anehnya, saat aku dan mereka sangat berdekatan,
namun hati kami tak menyatu. Apakah akan terasa lebih baik jika kami
terus-menerus berada di simpang kejauhan agar kami bisa sama-sama merasakan
arti kedekatan yang sesungguhnya?
Akhir-akhir ini aku sering merasa bahwa aku hidup di atas
tanah air tercinta ini tanpa sebatang hidung orangpun. Aku sendiri. Entahlah,
itu yang kurasakan. Apa mungkin aku gila? Jelas-jelas banyak orang yang
membuatku tertawa, tapi lebih banyak yang membuat aku sedih sebenarnya. Tapi
aku sudah terbiasa akan hal itu. Sehingga tak menjadi masalah besar dalam
hidupku saat ini. Biarkan masalah itu mengahantuiku terus. Aku tak takut,
karena aku sudah bisa ketakutan.
Aku tertawa, mereka juga ikut tertawa. Tapi apakah jika aku
menangis, mereka juga ikut menangis?
Aku punya teman, tapi aku sangat tertutup dengan mereka.
Entah hal apa yang membuatku lebih memilih jalan tutup mulut. Au sendiri juga
tak tau. Yang jelas, akan lebih baik jika begini, sebab ada hal yang seharusnya
didiamkan dan tak ada seorangpun yang tau demi kebaikan. Karena tidak semua hal
yang diketahui banyak orang, malah akan membuat semuanya terasa lebih baik,
bahkan sebaliknya.
Aku juga punya yang lebih dari sekadar teman. Tapi sekarang,
dia perlahan menjadi sosok yang dibawah standar title teman. Entah apa sebutan
bagi sosok yang seperti itu. Yang jelas, yang lebih dari sekadar teman itu,
sekarang lebih mirip abu. Yang tertiup angin, lalu menghilang entah kemana.
Bahkan mungkin tak akan pernah bisa kembali.
Dari situlah aku menyimpulkan bahwa mereka itu nyata tapi
semu. Aku tak bisa bebas sebebas-bebasnya orang bebas beradu pendapat, bertukar
cerita, berkeluh kesah, dan hal lain yang biasa dilakukan oleh sejoli yang satu
tujuan.
Aku juga belum menemukan jawaban apakah aku yang terlalu
menutup diri, atau mereka yang sebenarnya tidak peka bahwa aku sangat amat membutuhkan
mereka walau hanya berbagi secuil cerita cinta, duka, dan lara.
Mungkin lebih baik seperti ini. Sama-sama diam tanpa kata.
Sama-sama merasa bahwa memang tak ada hal; yang seharusnya tidak kami ketahui
satu sama lain. Anggap saja, inilah keputusan ternyaman yang kami pilih demi
kebaikan bersama.
Inilah kenyataan terkejam yang pernah kualami. Kami
sama-sama memandang tapi tak bisa mencuri pandang. Sama-sama dekat tapi tak
bisa lekat. Kami di dunia, terlihat nyata, tapi semu seperti sesuatu tak berwujud.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar