Alam itu indah
Indah itu saat
berkelana dengan alam
Aku suka alam
Aku mencintainya
Aku kagum akan
kebesaranNya
Aku terlena saat
berada diatas sana
Jauh-jauh hari
persiapan untuk kencan dengan alam telah diracik sedemikian rupa. Mulai dari
tas carrier yang berisi peralatan pribadi, makanan, jaket, dan peralatan
lainnya yang berbau dengan pernak-pernik untuk keperluan naik gunung telah aku
persiapkan secukupnya.
Tujuan muncak
agenda 23-25 februari 2015 adalah di kota pasuruan tepatnya di gunung yang
masih aktif dan terjaga kelestariannya, yaitu gunung Arjuna. Yang katanya
merupakan gunung tertinggi kedua setelah gunung semeru. 3339mdpl.
Saat perjalanan
hampir sampai di kota Malang, terlihat sangat jelas gunung yang menjulang
tinggi mencuri pendanganku. Tak henti-hentinya aku mengguman lewat batin dan
berkata, “subhanallah, tingginya ciptaanMu setinggi KuasaMu”
“eh gunungnya
bagus ya”, ucapku spontan.
“itu gunung
penanggungan. gunung itu kurang lebih Cuma 1600mdpl. Bayangkan berapa kali
lipatnya gunung arjuna. Sangat beda jauh,” ”, sahut temanku.
“wiiihh, padahal
itu sudah tinggi lo, lha trus apa bisa aku sampai ke puncak arjuna 3339mpdl?”
jawabku dengan nada pesimis.
Oh tuhan gunung
penanggunang aja segitu, bagaimana dengan arjuna? Belum lagi medannya
bagaimana? Seruan-seruan kepesimisan satu per satu datang menggeluti pikiranku
yang hampir saja kalut.
Tapi aku tetap
percaya bahwa aku bisa berada di atas puncak arjuna. Berdiri tegap dengan
menikmati hembusan angin yang menerpa wajahku nanti. Aku terus membayangkan
hal-hal indah saat aku sampai menginjakkan kaki on the top of arjuna.
Untungnya, rasa pesimis yang sempat memenuhi volume pikiran tadi, seketika
hilang saat aku bisa menyakinkan pada diriku sendiir bahwa aku bisa mencapai
puncak. Karena semua tidak ada yang instan, semua butuh pengorbanan, dan semua
pasti akan ada jalan jika aku mau berusaha, yakin, dan berdoa. Begitulah cara
singkatku untuk memulihkan semangat dan membangun keyakinan dalam diriku.
***
Namanya juga
kota malang, hujan adalah ciri khasnya. Dingin dan mendung bukanlah hal yang
awam lagi.
Bukan hujan yang
menghalangi langkah ini
Bukan pula
balutan rasa malas dan jijik akan beceknya medan untuk menuju puncak
Kami adalah
pecinta alam
Tak kenal kotor
dan keluh kesah
Kami memiliki
tekat yang kuat
Jiwa kami
sekokoh akar
Nyali kami
serimbun rerumputan
Dan cita-cita
kami setinggi puncak di atas awan
Hujan lebat
membasahi tanah tempat kami berpijak. Dengan memakai matel dan memikul tas
carrier yang beratnya cukup dirasa, langkah kami terus melaju. Pelan tapi
pasti. Tak kami hiraukan seberapa lebat hujan turun hari itu. Tak kami
pikirankan bagaiman raut muka kami yang kusut terkena ribuan tetes air hujan
menyapu bersih wajah yang tak sempurna ini. Kotor sudah pasti. Dingin ya tentu
saja. Belum lagi sepatu kemasukan air yang membuat beban ayunan langkah kaki
menjadi lebih berat dan rasa haus yang kami tahan adalah bagian dari melatih
kesabaran demi berkencan dengan alam. Sesekali rasa haus kami luapkan dengan
minum air hujan yang terkadang masuk dengan sendirinya melalui celah garis
hidung yang pada akhirnya turun ke bawah masuk ke mulut. Siapa sangka saat
itulah, kami baru saja minum air hujan yang entah bagaimana rasanya, yang jelas
menurutku seperti air biasa yang tak berasa.
Medannya cukup
memacu adrenalin. Baru awalnya saja sudah terjal, becek, berlumpur, dan licin.
Jika tidak berhati-hati jatuhlah sudah. Jika tak konsentrasi tersandunglah sudah.
Jika fokus maka selamatlah.
Menurut
informasi dari pihak yang mengelola gunung arjuna, gunung ini adalah gunung
yang masih aktif dan memiliki sumber airr yang cukup memdai. Ada 7 pos untuk
menuju puncak arjuna. Pos-pos itu tak lain memiliki funsi sebagai tempat itu
beristirahat sejenak bagi para pendaki. Aku tak banyak tau ada hewan apa saja
yang ada didalamnya. Yang pasti ada satu hewan yang tergolong cukup
membahayakan namun bisa dijinakkan, yaitu anjing. Di sana, anjing ibarat ayam
yang bertebaran dimana-mana. Sesekali anjing-anjing itu mengikuti kami para
pendaki. Jika kita takut dan seakan ingin menghindar, anjing itu malah bergegas
untuk mengejar. Namun jika kita santai dan berfikir positif padanya, anjing itu
akan luluh dan tidak akan mengganggu kita.
Menuju puncak
adalah hal yang mudah jika dalam sebatas bayangkan dan angan. Namun sangat
bertolak belakang jika dilalui proses demi prosesnya. Banyak hal yang
menyulitkan untuk samapai menuju puncak. Salah satunya adalah mengalahkan rasa
lelah.
Kaki yang harus
melangkah jauh dari biasanya
Keringat yang
berproduksi lebih banyak dari biasanya
Leher yang
sering menunduk kebawah
Melihat
terjalnya lajur khatulistiwa
Dan jutaan
klorofil yang terus memberi semangat
Adalah amunisi
bagi kami
Agar bisa sukses
berkencan dengan alam
Di puncak
3339mdpl
Tiga hari dua
malam berada di alam bebas. Makan ala kadarnya. Nasi tak matang, lauk-pauk dan
sayur harus berbagi sana-sini, tidur beralaskan matras yang sama sekali tidak
mepuk. Tak ada selimut. Padahal cuaca sangat dingin. Ya aku hanya bisa menahan
itu semua. Akupun tak mengeluh karena ini adalah pilihanku untuk 3 hari hidup
di alam bebas. Ya aku harus sadar diri akan situasi dan kondisi yang serba tak
mandi, tak BAB, dan lainnya seperti orang pinggiran yang sedang kesusahan
mencari pencerahan listrik dan sangat jauh gadget. Hanyalah kebersamaan yang
ada. Canda tawa dan susah bersama hingga puncaklah nantinya yang akan mengobati
luka sementara antara aku dan alamMu.
Ternyata
3339mdpl itu sangaaaaattttttttt jauh dan tingiiiiiiiiii sekali. Mungkin aku
adalah orang lebay yang baru terkagum-kagum melihat gunung setinggi ini. Tak
jarang rasa lapar dan haus menghampiri nafsu yang tiada henti ini. Kalau lapar
aku masih bisa menahan. Tapi kalau haus? Selama 10 jam memulai pendakian dari
pos 5 pukul 03.00 WIB , kami hanya membawa persediaan air kurang lebih hanya 5
botol aqua volume 1500liter. Itupun sudah minus 3 botol untuk minum usai makan
pagi di tengah perjalanan. Dan sisa dari 2 botol itu kami awet-awet untuk 24
orang melanjutkan perjalanan 3 jam lagi. Bayangkan, bagaimana kami melawan rasa
haus? Minum saja pakai takaran 1 tutup botol. Belum lagi kaki yang sudah hampir
mati rasa karena terlalu seringnya merasakan apa yang namanya itu pegel.
Setiap aku
mengambil langkah kaki, tak pernah lupa kuiiringi ucapan “astagfirullahaladzim,
allahu akbar, kuatkan aku ya Allah..” begitulah gumamku dalam hati sembari aku
terus meminta energi kepada Sang Illahi untuk sampai menuju puncak tertinggi.
Kesabaranku
semakin diuji, karena aku terus dibohongi. Katanya puncak sebentar lagi, namun
nyatanya apa? Masih harus berjalan lagi
lagi dan lagi. Sempat aku merasa kecewa akan sikap yang seperti itu. Namun
setelah aku berfikiran jernih, ternyata kata “sebentar lagi” itu adalah
semangat agar kita tak putus asa dan terus melangkahkan kaki walau rasa haus
dan capeknya betis sudah tak karuan.
Kurang lebih 1
jam lagi kami sampai ke puncak. Dilihat dari kejauhan, awan semakin dekat
dengan kami. Indahnya langit yang biru dan awan putih yang menghiasi pandangan
bola mataku membuat hati semakin tenang dan rasanya ingin segera sampai ke atas
sana. Suara angin yang bagaikan suara kendaraan bermotor semakin membuat aku
penasaran ada gerangan apa di atas puncak sana. Usai aku berandai-andai kecil
dengan imajinasiku, ada hal yang membuat aku harus menghentikan imajinasiku
itu. Salah satu temanku, Wulan, menangis. Wajahnya pucat, persediaan air habis.
Katanya dia sudah tak kuat lagi dan ingin stop sampai di sini. Dia terus diam
tanpa kata, lalu aku memeluknya dan berkata “kamu kenapa nangis, kuat kuat kuat
! yakin bisa sampai puncak. Nanti kalu sudah sampai puncak nangislah sesukamu.
Tak temani mengis, ntar ayo dipuasin kalo nangis. Tapi, sekarang pending dulu
nangisnya. Semangat!!!” begitulah caraku menyemangatinya. Aku tak bisa
memberinya minum, karena aku tak unya minum. Hanya bisa memeluknya, memberinya
sedikit semangat kalau kita bisa menaklukan arjuna. Kita bisa berdiri dia atas
puncak arjuna bersama.
Langkah demi
langkah kami ayunkan. Panas terik matahari semakin menggugah gairah untuk minum
walau hanya seteguk air. Namun, fakta berkata lain yang lagi lagi kami harus
bisa menahan haus dan hanya bisa menelan air liur.
Suara gemuruh
angin bak kendaraan bermotor di kota metroplotan semakin keras. Tiba-tiba saja
saat kurang lebih 15 menit puncak di depan mata, mendung seketika datang.
Langit biru berubah wujud dipenuhi dengan awan hitam kejam. Mungkin karena aku
lelet dan lemah, seringnya untuk beristirahat, aku belum sampai di atas puncak.
Padahal sudah ada teman-temanku yang mengibarkan bendera merah putih di puncak
sana. Awalnya aku hendak melanjutkan ke puncak, namun berhubung cuca tidak
mendukung dan teman yang masih berada dibawahku menyuruh untuk segera turun,
kamipun dengan berat hati harus merelakan 15 menit itu. Kecewa dan sedih
bercampur rasa yang sulit diungkapkan dengan kata-kata. Itulah yang saat itu
aku rasakan. 15 menit lagi walau jalan tak landai, seharusnya bisa aku
taklukan. Namun, karena aku mendaki secara sosial, otomatis aku harus melenyapkan
rasa egoisku. Aku harus turun ke bawah karena hujan sekiranya akan turun.
Kata
pembinaku,”pendaki sejati adalah oendaki yang bisa mengalahkan rasa egosinya.
Jika usai mendaki dalam dirinya masih memiliki rasa egois, berarti dia belum berhasil”.
Kata-kata itulah
yang terus aku ingat sampai sekarang. Pembekalan berupa motivasi yang terus
membekas dalam diri.
Usai aku ingat
kata-kata itu, rasa kecewa yang sempat mengkring dalam rohku, perlahan telah
hilang. Lagian, walaupun belum sampai puncak tulisan 3339mdpl, aku sudah
berhasil mendaki kurang lebih 3000mdpl tanpa sakit dan masih kuat menuruni
gunung dan bukit-bukit arjuna. Aku bersyukur, bisa berdiri di atas awan dan
dari kejauhan bisa melihat puncak gunung tertinggi se-jawa yaitu gunung semeru
dari gunung yang aku pijaki saat itu, sunung arjuno. Sungguh tiada hentinya aku
mengagumi atas segala pemberian dan ciptaanMu Yaa Rabb..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar