Apakah aku benar-benar gagal
menjadi seorang wanita yang selayaknya disebut dengan wanita?
Yang identik dengan lemah lembut,
kalem, sopan, bicara dengan nada alus.
Memang aku akui aku sangat jauh
dari kriteria tersebut. Aku lebih condong dengan sikap yang kasar, mungkin juga
bisa dibilang cuwawak, kalo bicara
selalu dengan nada tinggi, nyentak. Apalagi
mimik wajahku. Teman-teman, tetangga, ibu, ayah, adek, keluarga, mayoritas
menilai aku adalah sosok yang garang, nyeremin, suka marah-marah, mrengut, dan sifat lainnya yang hitam
nan tajam.
Dulu waktu ibuku masih hidup,
beliau juga kerap mengingatku agar aku membiasakan bicara alus, tidak membantah, apalagi merespon dengan cara mbentak-bentak.
Telingaku sampai panas djejali dengan nasehat itu. Saking seringnya ibu
melontarkan nasehat itu, aku sampai lupa merealisasikannya. Masih saja aku setia
dengan sifat asli negatifku itu. Dan sampai pula aku kehilangan sosok ibu, yang
tiada henti mengingatkan sesuatu apapun demi kebaikan anaknya. Dan sampai akhirnya,
detik ini aku merasa gagal memuat ibu bahagia, membuat ibu lega hatinya karena
anaknya sampai saat ini belum berhasil menjadi sosok wanita idaman .
Adek. Sekarang dia duduk di kelas
TK B(besar). Saat tiap ada waktu luang aku sedang membimbingnya belajar , dan
ketika itu dia tidak bisa membaca dengan lancar, aku kesal dan marah. Aku membentaknya.
Aku membenarkan cara bacanya dengan nada tinggi yang mungkin membuat dia kaget
hingga pada akhirnya hatinya yang tersakiti dituangkannya lewat sebuah tangisan
keras. Saat itu pula aku merasa telah menusuk hatinya dengan perlakuanku yang
kasar, hingga waktu aku hendak mengajarinya belajar lagi, dia berkata “Kak. Aku moh belajar nek mbok seneni. Mbok seneni
ae”. Nah, dari situlah hatiku mulai mencari dimana jiwa wanitaku yang
sesungguhnya? Hingga adek kandung merasa trauma atas perlakuanku yang seperti
itu. Apakah aku sama sekali tidak pantar menjadi panutan untuknya? Apakah aku
terlalu buruk untuk menjadi leader pembimbing
belajarnya? Entahlah aku semakin sakit dan miris melihat sifatku yang seperti
itu. Kebangetan. Dan jangan tanya apakah
aku menangis saat adekku berkata seperti itu? Jawabannya sudah pasti IYA. Aku sangat
terpukul sudah kelewatan menyakiti perasaan anak kecil yang seharusnya layak
mendapat kasih sayang yang lembut, bukan yang kasar. Apalagi sekarang ibu sudah
tiada. Jadi, akulah yang berperan sebagai ibu untuknya. Tapi aku malah seakan
berperan sebagai musuhnya. Sungguh, dalam hatiku yang paling dalam, “dek, kakak
ingin mengajak adek kelangit meraih banyak bintang, tapi kakak belum bisa dek. Kakak
harus belajar lagi menemukan jiwa kewanitaan kakak dulu agar kakak bisa
menemani adek meraih bintang itu. Tunggu kakak, kakak akan berusaha keras”
Ayah. Melihat aku yang sering
kasar dengan adek, saat beliau sedang kerja, aku dikirimi pesan singkat
olehnya, “nek mbek adek e ojo kasar. Wes gede
bereng”. Anak mana yang tidak iba melihat ayahnya tak berani menasehati
langsung anaknya. Memang ayahku adalah tipikal orang yang tak banyak omong,
tidak banyak memberi penilaian, tapi sekali saja beliau mengomentari dan marah, rasanya hari ini seperti tertusuk
duri. Sakit. Dan aku juga tidak tahu kata apa yang pas untuk menafsirkan
ksedigan anak jikalau kedua orangtuanya merasa kecewa atas sikap anaknya yang
kurang tepat. Entahlah.. aku semikan tersedu menangisi masalah ini.
Kebanyakan teman-teman sudah
paham betul dengan sikapku yang seperti itu. Tak jarang mereka yang sudah akrab
denganku tak heran jika suatu saat sering menjumpaiku bicara dengan nada diatas
ambang kenormalan, galak, pelit senyum, bahkan suka sensi tidak jelas.
Tetanggaku juga begitu. Memang aku
juga dinilai sosok yang grapyak, mandiri,
tidak manja (ex:nyuci baju, nyapu, tidak malas-malasan). Tidak bisa dipungkiri
lagi karena memang ibu, dari aku SMP sudah mengajariku bagaimana membiasakan
hidup tidak manja. Jadi itu semua sudah aku anggap bukan beban, itu kebiasaan
yang mendarah daging. Dan hal yang paling aku ingat adalah, saat aku
dikomentari tetanggaku begini “adekmu ape dijak ning endi?” aku, “mboh raroh”. Dengan
nada yang menyengat aku membalasnya begitu, ditunjang dengan mimik wajah yang
cemberut, hal itulah yang membuat tetanggaku mangkel. Mungkin menurutnya
ditanya baik-baik kok jawabnya begitu. Apa itu pantas. Entalah, yang jelas saat
itu aku juga sedang madmodd, jadi ya menurutku wajar bila responku begitu. Dan hal
yang paling miris adalah tetanggaku itu madul
kepada mbah yi ku. Wajar saja,
namanya juga wanita, sudah tua pula, pasti hatinya sakit jika ada seseorang
yang tak enak merespon pertanyaannya baik-baik. “yu yu, wes ping 3 putunem tak
takoni jawabe mboh ambek merengut ngono”, begitulah katanya saat mbah yi
memberitahuku. Kemudian, ada tanda tanya besar dalam benakku, kapan aku
menjawab dengan nada “mboh raroh” sebanyak tiga kali? Kapan saja itu? Sebegitu detailnya
dan tajam pula ingatannya dia mengingat perlakuanku yang tak enak. Apakah aku
sangat nemen sekali? Hingga dia
mengingat betul berapa kali aku menjawab pertanyaannya dengan kata “mboh raroh”.
Miris sekali bukan sikapku yang
sangat meresahkan banyak orang. Dari situlah aku mulai berfikir, aku harus
bertindak cepat merubah sifat itu. Aku tak mau dosa besar akibat tidak memiliki
akhlak yang baik terus menggerogoti tubuhku. Aku tak ingin mereka semua yang
aku sayangi menjadi resah akibat aku menjual mahal senyum manisku, akibat aku tak
bisa mengondisikan diri sebagai wanita yang sebaik mungkin dijuluki wanita. Bukankah
wanita itu harus lemah lembut, sopan, murah senyum? Dan aku sangat jauh dari
situ, namun aku ingin dekat dengan sifat yang seperti itu.
Aku juga sudah capek menangis
kesana-kemari. Meratapi nasib sebagai wanita yang masih gagal menjadi wanita. Setelah
bengkak mataku, alhamdulilah tirai untuk berubah menjadi wanita yang semestinya
wanita terbuka lebar-lebar. Begitu banyak dorongan yang menuntunku untuk terus
maju. Terutama naluriku sendiri.
Aku membayangkan, apabila orang-orang yang
sempat resah dengan sifatku yang kerap membuat hatinya terluka akan berubah
menjadi kagum-kagum denganku dengan perubahanku yang kita akan proses aku
realisasikan. Sungguh, pasti tak akan ada lagi yang hidupnya terganggu akan
kelewatanku. Aku tak berharap muluk-muluk aku menjadi sosok yang
diidam-idamkan. Harapan terkcecilku, aku sukses dari jeruji wanita galak, garang,
dan mrengutan. Itu saja dulu, kelak
akan kuserahkan kepada mereka apakah aku sudah layak dijuluki wanita atau
belum. Jika iya, sungguh berarti aku telah berhasil. Jika tidak, aku akan
berusaha lagi.
Dan betapa bahagianya ibuku yang
sekarang di surga melihat anaknya bisa tumbuh menjadi wanita yang anggun
tertutup dengan jilbabnya, kemudian dipercantik pula dengan hiasan santunan
dari tutur kata yang lemah lembut. Ibu... tunggu aku mencari jalan wanitaku. Doakan
anakmu agar tidak membutuhkan waktu yang lama untuk mencari kewanitaanya. Aku janji
aku akan melepas semua nada tinggiku, title
galak, nyentak, mawak-mawak, akan kuhilangkan itu Bu, aku janji.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar