Senin, 03 November 2014

Wanita yang Masih Gagal Menjadi Wanita


Apakah aku benar-benar gagal menjadi seorang wanita yang selayaknya disebut dengan wanita?
Yang identik dengan lemah lembut, kalem, sopan, bicara dengan nada alus.

Memang aku akui aku sangat jauh dari kriteria tersebut. Aku lebih condong dengan sikap yang kasar, mungkin juga bisa dibilang cuwawak, kalo bicara selalu dengan nada tinggi, nyentak. Apalagi mimik wajahku. Teman-teman, tetangga, ibu, ayah, adek, keluarga, mayoritas menilai aku adalah sosok yang garang, nyeremin, suka marah-marah, mrengut, dan sifat lainnya yang hitam nan tajam.

Dulu waktu ibuku masih hidup, beliau juga kerap mengingatku agar aku membiasakan bicara alus, tidak membantah, apalagi merespon dengan cara mbentak-bentak. Telingaku sampai panas djejali dengan nasehat itu. Saking seringnya ibu melontarkan nasehat itu, aku sampai lupa merealisasikannya. Masih saja aku setia dengan sifat asli negatifku itu. Dan sampai pula aku kehilangan sosok ibu, yang tiada henti mengingatkan sesuatu apapun demi kebaikan anaknya. Dan sampai akhirnya, detik ini aku merasa gagal memuat ibu bahagia, membuat ibu lega hatinya karena anaknya sampai saat ini belum berhasil menjadi sosok wanita idaman .

Adek. Sekarang dia duduk di kelas TK B(besar). Saat tiap ada waktu luang aku sedang membimbingnya belajar , dan ketika itu dia tidak bisa membaca dengan lancar, aku kesal dan marah. Aku membentaknya. Aku membenarkan cara bacanya dengan nada tinggi yang mungkin membuat dia kaget hingga pada akhirnya hatinya yang tersakiti dituangkannya lewat sebuah tangisan keras. Saat itu pula aku merasa telah menusuk hatinya dengan perlakuanku yang kasar, hingga waktu aku hendak mengajarinya belajar lagi, dia berkata “Kak. Aku moh belajar nek mbok seneni. Mbok seneni ae”. Nah, dari situlah hatiku mulai mencari dimana jiwa wanitaku yang sesungguhnya? Hingga adek kandung merasa trauma atas perlakuanku yang seperti itu. Apakah aku sama sekali tidak pantar menjadi panutan untuknya? Apakah aku terlalu buruk untuk menjadi leader pembimbing belajarnya? Entahlah aku semakin sakit dan miris melihat sifatku yang seperti itu. Kebangetan.  Dan jangan tanya apakah aku menangis saat adekku berkata seperti itu? Jawabannya sudah pasti IYA. Aku sangat terpukul sudah kelewatan menyakiti perasaan anak kecil yang seharusnya layak mendapat kasih sayang yang lembut, bukan yang kasar. Apalagi sekarang ibu sudah tiada. Jadi, akulah yang berperan sebagai ibu untuknya. Tapi aku malah seakan berperan sebagai musuhnya. Sungguh, dalam hatiku yang paling dalam, “dek, kakak ingin mengajak adek kelangit meraih banyak bintang, tapi kakak belum bisa dek. Kakak harus belajar lagi menemukan jiwa kewanitaan kakak dulu agar kakak bisa menemani adek meraih bintang itu. Tunggu kakak, kakak akan berusaha keras”

Ayah. Melihat aku yang sering kasar dengan adek, saat beliau sedang kerja, aku dikirimi pesan singkat olehnya, “nek mbek adek e ojo kasar. Wes gede bereng”. Anak mana yang tidak iba melihat ayahnya tak berani menasehati langsung anaknya. Memang ayahku adalah tipikal orang yang tak banyak omong, tidak banyak memberi penilaian, tapi sekali saja beliau mengomentari dan  marah, rasanya hari ini seperti tertusuk duri. Sakit. Dan aku juga tidak tahu kata apa yang pas untuk menafsirkan ksedigan anak jikalau kedua orangtuanya merasa kecewa atas sikap anaknya yang kurang tepat. Entahlah.. aku semikan tersedu menangisi masalah ini.

Kebanyakan teman-teman sudah paham betul dengan sikapku yang seperti itu. Tak jarang mereka yang sudah akrab denganku tak heran jika suatu saat sering menjumpaiku bicara dengan nada diatas ambang kenormalan, galak, pelit senyum, bahkan suka sensi tidak jelas.

Tetanggaku juga begitu. Memang aku juga dinilai sosok yang grapyak, mandiri, tidak manja (ex:nyuci baju, nyapu, tidak malas-malasan). Tidak bisa dipungkiri lagi karena memang ibu, dari aku SMP sudah mengajariku bagaimana membiasakan hidup tidak manja. Jadi itu semua sudah aku anggap bukan beban, itu kebiasaan yang mendarah daging. Dan hal yang paling aku ingat adalah, saat aku dikomentari tetanggaku begini “adekmu ape dijak ning endi?” aku, “mboh raroh”. Dengan nada yang menyengat aku membalasnya begitu, ditunjang dengan mimik wajah yang cemberut, hal itulah yang membuat tetanggaku mangkel.  Mungkin menurutnya ditanya baik-baik kok jawabnya begitu. Apa itu pantas. Entalah, yang jelas saat itu aku juga sedang madmodd, jadi ya menurutku wajar bila responku begitu. Dan hal yang paling miris adalah tetanggaku itu madul  kepada mbah yi ku. Wajar saja, namanya juga wanita, sudah tua pula, pasti hatinya sakit jika ada seseorang yang tak enak merespon pertanyaannya baik-baik. “yu yu, wes ping 3 putunem tak takoni jawabe mboh ambek merengut ngono”, begitulah katanya saat mbah yi memberitahuku. Kemudian, ada tanda tanya besar dalam benakku, kapan aku menjawab dengan nada “mboh raroh” sebanyak tiga kali? Kapan saja itu? Sebegitu detailnya dan tajam pula ingatannya dia mengingat perlakuanku yang tak enak. Apakah aku sangat nemen sekali? Hingga dia mengingat betul berapa kali aku menjawab pertanyaannya dengan kata “mboh raroh”.

Miris sekali bukan sikapku yang sangat meresahkan banyak orang. Dari situlah aku mulai berfikir, aku harus bertindak cepat merubah sifat itu. Aku tak mau dosa besar akibat tidak memiliki akhlak yang baik terus menggerogoti tubuhku. Aku tak ingin mereka semua yang aku sayangi menjadi resah akibat aku menjual mahal senyum manisku, akibat aku tak bisa mengondisikan diri sebagai wanita yang sebaik mungkin dijuluki wanita. Bukankah wanita itu harus lemah lembut, sopan, murah senyum? Dan aku sangat jauh dari situ, namun aku ingin dekat dengan sifat yang seperti itu.

Aku juga sudah capek menangis kesana-kemari. Meratapi nasib sebagai wanita yang masih gagal menjadi wanita. Setelah bengkak mataku, alhamdulilah tirai untuk berubah menjadi wanita yang semestinya wanita terbuka lebar-lebar. Begitu banyak dorongan yang menuntunku untuk terus maju. Terutama naluriku sendiri.

Aku membayangkan, apabila orang-orang yang sempat resah dengan sifatku yang kerap membuat hatinya terluka akan berubah menjadi kagum-kagum denganku dengan perubahanku yang kita akan proses aku realisasikan. Sungguh, pasti tak akan ada lagi yang hidupnya terganggu akan kelewatanku. Aku tak berharap muluk-muluk aku menjadi sosok yang diidam-idamkan. Harapan terkcecilku, aku sukses dari jeruji wanita galak, garang, dan mrengutan. Itu saja dulu, kelak akan kuserahkan kepada mereka apakah aku sudah layak dijuluki wanita atau belum. Jika iya, sungguh berarti aku telah berhasil. Jika tidak, aku akan berusaha lagi.

Dan betapa bahagianya ibuku yang sekarang di surga melihat anaknya bisa tumbuh menjadi wanita yang anggun tertutup dengan jilbabnya, kemudian dipercantik pula dengan hiasan santunan dari tutur kata yang lemah lembut. Ibu... tunggu aku mencari jalan wanitaku. Doakan anakmu agar tidak membutuhkan waktu yang lama untuk mencari kewanitaanya. Aku janji aku akan melepas semua nada tinggiku, title  galak, nyentak, mawak-mawak, akan kuhilangkan itu Bu, aku janji.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

#QUOTESOFME (PART 2)

Silahkan disimpan bila Anda mau. Boleh juga dijadikan caption di instagram Anda. Untuk lockscreen hp juga bisa. Syaratnya satu, jangan ab...