5 hari lagi
adalah tepat 10 bulan hari pernikahan kita. hari esok adalah tepat dimana 29
tahun hari kelahiranmu sayang..
***
Ingat tidak
waktu kita SMA dulu, banyak sekali hal yang mewarnai hari-hari kita. Awal
jadian, kamu tak pernah absen antar jemput aku. Rasanya seakan dunia milik kita
berdua. Sekolah sama kamu, istirahat sama kamu, tugas juga kelompokkan sama
kamu. Ah, sesekali moment itu ingin kululangi lagi. Andai aku punya mesin
waktu, pasti jika aku merasa rindu dengan masa indah putih abu-abu, tanpa
berfikir panjang langsung saja aku klik tombol kembali ke masa putih abu-abu.
Ah, itu hanya andai. Mana mungkin bisa terulang?
“ayo pulang..” katamu sambil
menggenggam erat tanganku.
Aku hanya senyum kecil dan
mengangguk tersipu malu.
“ya ampun San, Aldi so sweet
banget. Andai pacarku kayak gitu. Ah, gak mungkin deh. Kamu beruntung deh punya
pacar kayak dia, dia itu seakan memperlihatkan banget kalo dia sayang sama
kamu. Buktinya kalo pulang sekolah, dia selalu gandeng kamu. Ah so sweet! Bikin
iri aja,” kata Ana sahabat dekatkku.
“Ya Tuhan.. apa iya aku
seberuntung ini? Memiliki kekasih seperti yang dikata sama Ana? Jika iya, aku
sangat bersyukur telah Engkau kirimkan seseorang yang bisa membuatku bahagia.
Tapi disisi lain, aku takut Tuhan.. takut jika Engkau mengambilnya dariku”
gumamku bahagia bercampur cemas.
***
Aku menikah
diusia 27 tahun, sedangkan suamiku diusia 28 tahun. Selisih rentang umur kami
yang hanya 1 tahun kerap menimbulkan suatu konflik. Mungkin karena pemikiran
kita yang sama-sama labilnya dan egois yang terkadang memuncak menjadikan
lika-liku perjalanan kami menuju pelaminan bisa dikatakan curam.
Kini prosefi
yang sedang dijalani suamiku adalah seorang pengabdi negara. Sebut saja,
polisi. Dari dulu dia mengidam-idamkan menjadi seorang beralmamater coklat
berpangkat. Berbagai cara menuju citanya
ditempuh, mulai dari rutin chek up, suntik varises, operasi, dll dilakukan
dengan rutin. Sering pula dulu sebelum kami menikah, dia meminta doa dariku
supaya apa yang dia inginkan bisa tercapai. Dan alhamdulilah, kini dia bisa
mewujudkannya walaupun pendaftaran yang pertama dia gugur di tes akademik. Dan
yang kedua ini, dia mampu meraihnya. Aku sangat bangga dengannya.
Aku hanyalah
wanita lulusan 1 tingkatan dibawah sarjana. Aku bukan pula wanita yang memiliki
kesempatan duduk dibangku Universitas ternama. Aku hanyalah alumnus Politeknik.
Meskipun begitu, aku tetap bangga terhadap diriku sendiri karena aku masih
tergolong wanita bertitle.
***
Beberapa
kemudian setelah UNAS, ada moment penting lagi selain UNAS. Yaitu adalah
detik-detik menuju hari kelahiranku. Aku tak seberapa berharap hari kelahiranku
datang cepat-cepat. Walaupun nantinya tepat diusiaku yang ke 18 tahun, aku
memiliki seseorang yang istimewa dan pastinya hari H ku akan terasa berlipat
sempurna karena adanya dia, aku tetap tak begitu antusias dengan hari itu.
Entah mengapa aku sendiri juga tak tau.
“selamat ulang
tahun Sani.... panjang umur, sehat selalu, sukses, dan blablablablaaaaaa,”
ucapan dari Linda salah satu sahabat dekatku.
“Niss, happy
birday ya... blablablabla......,” tak lupa Ana juga antusias mengirimkan ucapan
itu melalui BBM.
Aku sangat
senang sekali, dipertambahan usiaku itu, banyak orang yang mendoakan aku
menjadi pribadi yang lebih baik. Mulai dari teman SD, SMP, SMA, teman hang out,
bahkan kakak kelas juga ikut berpartisipasi memberiku ucapan doa panjang umur,
sehat selalu, dan kawan-kawannya.
Malamnya aku
tak bisa tidur, berharap tepat pukul 00.00 Aldi adalah orang pertama yang
mengucapkan. 10 menit terlalui. 15 menit. 30 menit. Hingga menit yang ke 60
ternyata Aldi tak kunjung datang memberiku ucapan. Lantas, kupejamkan saja mata
ini. Memang ada sedikit kekecewaan yang mendalam akan hal itu, tapi aku juga
harus sadar diri dan berfikir positif, mungkin dia lagi ada halangan sehingga
tak bisa menjadi yang pertama mengucapkan selamat ulang tahun. Karena pada
waktu hari H ku, secara bersamaan dia juga sedang melakukan serangkaian tes
polisi. Jadi ya, aku positif aja dia pasti sedang fokus.
Pagi berganti
siang. Siang bermetamorfosis menjadi malam. Kegelapan telah datang. Dan sampai saat
itu juga aku belum mendapat ucapan darinya.
“Aldi, kamu kok nggak ngucapin
aku selamat ulang tahun,” tanyaku lewat pesan singkat.
“Emang kenapa? Ngucapin kalo
nggak langsung itu sama aja enggak,” jawabnya
“ya tapi kan seenggaknya kamu
ngucapin,”
“halah, besok aja sekalian
ketemu,”
Jawaban yang
tak aku duga, keluar dari mulutnya. Padahal awalnya, aku sangat yakin bahwa dia
bisa melipatgandakan kebahagiaan ini. Tapi, nyatanya apa?
***
“sayang, kamu lagi gapain,” pagi-pagi
aku sudah dibuatnya hanyut akan pesan singkatnya.
“ini, lagi liat tv, emang
kenapa,”
“udah mandi?”
“belum lah”
“ih, jorok. Mandi sana”
“males ah”
“kamu sendirian dirumah?
“iyalah”
“adekmu sudah berangkat sekolah
ta?”
“udahlah ini lo jam berapa”
“hehehe. Tak temenin mau?”
“ah gak mungkin, kamu lo di
malang”
“kalo tiba-tiba aku muncul
gimana, hayoo”
“ah impossible”
“gak percaya? Aku kan punya
segala cara. Haha. Udah mandi dulu sana, dandan yang cantik ya,”
Setelah
beberapa menit aku ngobrol dengannya lewat dunia maya, aku mandi. Sebenarnya
bukan karena disuruh dia mandi, tapi memang sudah waktunya mandi. Lagian juga
badanku gerah setelah bersih-bersih rumah.
“ah, masak iya Aldi mau ke sini?
Dia kan sekarang di Malang” batinku berkonflik kecil didepan kaca saat aku
hendak merias diri.
tokkk tok tokkk.... tiba-tiba
terdengar suara orang mengetok pintu rumahku.
Dan kalian tau
siapa yang pagi-pagi bertamu di rumahku? Aldi. Ya Aldi. Jantungku berdegup
kencang seperti rudal yang melejit dengan kecepatan tinggi. Aku masih tak
percaya bahwa tamu itu adalah Aldi. Kok bisa? Ya. Inilah hadiah dari Tuhan yang
kita tak akan pernah tau kapan dan apakah ini layak untuk kita. Sungguh diluar
jalan pikir kita bukan? Sungguh besar KekuasaanNya.
Saat ku
bukakan pintu, “hai, ini kado ulang tahunmu yang kemarin sekalian sama anniv
kita yang ke 5. Maaf ngasihnya telat. Sekarang aku udah nggak punya hutang sama
kamu kan? Kado ulang tahun sama anniv sudah ditangan kamu,” katanya diiringi
daratan ciuman dikeningku.
Sungguh luar
biasa bahagianya aku saat itu sampai aku tak bisa meludahkan sepeser kata-kata.
Aku hanya bisa senyum, seyum, dan senyum, dan dihantui pertanyaan, “Apakah ini
nyata? Tuhan jika iya, tolong hentikan detik ini atau perlambat waktu ini agar
aku bisa lebih lama berdua dengannya atau sekadar hanya memandanginya”
***
Seperti yang
sudah aku katakan tadi, jarak 1 tahun antara usiaku dan usinya kerap membawa
dampak buruk bagi kami. Memang kami sudah menikah, tapi kita jarang tinggal
serumah. Selain kerana suamiku kerap tugas di luar kota, dia juga harus
mengurusi bisnisnya di luar kota juga. Nah, hal itu yang membuat aroma pernikahan
ini semakin tak harum lagi. Bahkan, tak jarang juga bau busuk menyelimuti
tantangan usia pernikahan kita.
Dia menjadi
lebih over protektif. Mungkin semata-mata dia takut aku terperangkap oleh
godaan lelaki hidung belang. Ya aku sih sah-sah saja dia memiliki pemikiran
seperti itu. Tapi lama kelamaan karena terlalu sering dituduh dengan hal yang
tak masuk akal, aku tergoda orang lainlah, sibuk dengan urusan ibu PKKlah, apalah,
aku berfikir bahwa dia keterlaluan. Kita ini sudah berumah tangga. Lantas
mengapa dia tak bisa bersikap dewasa? Itulah pertanyaan yang sering muncul
dalam otakku dan sulit sekali aku menemukan jawabannya.
1 bulan
suamiku tak pulang. Aku tau kini bisnisnya semakin jaya dan alhamdulilah nafkah
untukku juga selalu dia beri tanpa aku harus merengek memintanya. Suami punya.
Harta punya. Tapi ada satu yang aku tak punya. Keharmonisan. Dulu sebelum
suamiku memiliki bisnis, dia sangat peka padaku. Kita sering dinner, liburan.
Sekarang setelah dia sukses akan bisnisnya, dia menjadi dingin padaku.
Jangankan sekadar mengingatkan makan dan sholat, memberi kabarpun jika aku tak
mengawalinya, dia apa pernah menghubungi aku? Membalas kata i love you pun,
bibirnya terasa berat berkata. Sebenarnya aku siapa sih? Siapakah aku dimata
kamu? Rasanya hina sekali kata i love you kau peruntukkan untukku.
Kurang lebih 2
bulan, keharmonisan yang sempat kita bangun kini perlahan menjadi luntur.
Pikiranku tak karuan. Dia selingkuhlah, dia sibuk lah, apalah. Tapi yang
namanya suami, sesibuk-sibuknya akan pekerjaannya pasti sempat untuk memberi
kabar bukan? Istri mana yang kuat dengan sikap suaminya yang dingin seperti tu.
Untung hatiku terbuat dari berlian, walaupun dituangi beribu-ribu cobaan
sekalipun, akan tetap dan terus bersinar memberikan senyum untuknya.
Apa dia tau
bahwa balik senyumanku itu, sebenarnya adalah sebuah senyum kepalsuan. Senyum
yang seakan mempelihatkan inilah aku wanita yang tegar, kuat, dan lapang akan
semua tudahannya. Padahal yang nyata adalah, inilah aku yang hancur akan semua
firasat negatifmu tentang diriku.
“ingat mas,
kita sudah berumah tangga. Apakah kau akan terus menghujatku? Sebenarnya apa
yang membuat sikap dingin ini melekat pada dirimu?” tanyaku dalam batin yang
semakin teriris.
Aku merasa
sudah tak sanggup lagi menuntunnya ke jalan yang benar. Mengembalikan dia
seperti dulu menjadi sosok yang penyayang, penyabar, tidak egois, apa adanya. Keluhku
jika dihitung-hitung mungkin sudah menyandang status tak terbatas. Namun, aku
sadar. Aku adalah istrinya, apapun alasannya aku harus bisa mengembalikan
suamiku yang dulu. Aku tak ingin rumah tangga yang kita bina ini nantinya akan
berujung pada suatu kata yang kejam, yaitu perceraian.
“sebenarnya,
aku ini kau anggap siapa? Istri? Mantan istri? Atau mungkin orang yang kamu benci.
Entahlah..” firasat negatifku kembali bertanya-tanya.
***
Detik
demi detik tanpa ragu terus bergulir. Begitu juga detik-detik menuju
pertambahan usiamu.
“apakah kau akan pulang Mas?” batinku
kembali menyeruak.
Semoga kita bisa merayakan hari
jadimu seperti tahun lalu, berdua bersamamu dalam linangan kebahagiaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar